Selasa, 27 Januari 2009

OPiNi dan EsSEy

SEJAM JADI ANTI KORUPSI

Oleh: Dylla Lalat

Sistem Administrasi dan Manajemen pemerintahan yang dikembangkan oleh para penyelenggara pemerintah di wilayah Kota Bima menarik kita cermati dan telusuri. Kenapa tidak, fakta yang bergolak tidak ubahnya dengan apa yang tengah berlangsung di Negara Timur Leste alias Timor-timur. Disana sini terjadi kebocoran. Saling tuding yang terlibat dengan yang tidak terlibat menjadi polemik tanpa ujung dan bukan lagi hal yang memalukan.

Roda perekonomian berjalan setengah-setengah. Pendidikan politik yang dihajatkan bagi masyarakat lari keluar lintasan yang telah ditentukan. Hukum dan perundang-undangan yang ditetapkan agar terwujud rasa berkeadilan berubah menjadi mesin pembunuh. Tentu saja kesemuanya itu akan mengarah pada dendam tanpa ujung.

Aksi demonstrasi dengan mengusung kepentingan masing-masing, bukan lagi menunjukan show of force dalam pembelaan hak-hak masyarakat, melainkan yang terselubung adalah upaya pengusiran disertai dengan penekanan terhadap orang-orang tertentu karena dianggap telah menodai hati nurani rakyat. Rakyat yang mana? masih harus dipertanyakan kejelasannya.

Rakyat sering kali menjadi kambing hitam dan adakalanya pula menjadi senjata demi memuluskan target-target politik tertentu. Sebuah prinsip dan perjuangan berpolitik yang sering dipertontonkan oleh para pejuang politik yang telah mengidap penyakit over paranoid. Akibatnya, saling menghargai bukan lagi yang prinsipil dan pengakuan kelebihan dan keunggulan orang diluar diri tidak dianggap. Sehingga kuat dugaan, mungkin hingga ratusan tahun ke depan bangsa ini tidak akan mencapai budaya unggul (excellent culture) sebagaimana yang diharapkan bersama.

Belum pudar dari ingatan, yel-yel anti korupsi digelorakan secara terbuka, ditandai dengan penandantanganan MoU anti korupsi. Empat unsur (Pemerintah Kota, Kejaksaan, Kepolisian dan DPRD) yang disinyalir paling banyak mengidap penyakit kriminal tersebut ikut dilibatkan. Luar biasa tentunya demi prinsip stand to change, berdiri untuk perubahan.

Saking serisusnya, puluhan meter spanduk berikut baliho ukuran super jumbo dipasang didepan mata agar disetiap inci langkah kita akan selalu diingat bahwa mengkorup adalah prilaku yang sangat jahat. Namun, anehnya, semakin banyak aturan dan kesepakatan yang diciptakan semakin banyak dan sopan pula modus operandi bagaimana mengkorup.

Hingga kini status uang rakyat senilai Rp 16,5 M masih dipolemikkan. Layaknya berita-berita siur para artis dalam infotainment. Selalu menghebohkan. Para wakil rakyat di lembaga DPRD Kota Bima tidak memiliki nyali untuk bersikap, apakah mereka yang punya atau bukan. Yang jelas uang senilai itu tidak mungkin dihabiskan sendiri oleh pemulung atau manusia tua yang keseharianya sebagai pemecah batu dilereng-lereng gunung. Lucunya bukan kepalang. Setelah mengkorup rame-rame giliran dimintai pertanggungjawaban tidak ada yang berani. Sungguh ajaib?

Kota Bima adalah Kota Bima dan tidak mungkin berubah menjadi negara Timur Leste. Sebagai catatan bahwa mengkorup tidak mengenal siapa, waktu, tempat apalagi posisi. Malah sebaliknya, semakin bagus tempat dan posisi kita berdiri akan semakin terbuka peluang untuk mengkorup, dari yang kecil hingga yang mega korupsi.

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap Rp 16,5 M tersebut?

Keseriusan menetapkan dan untuk mengakui bertanggung jawab, belum ada yang nampak. Apalagi bentuk hukum demi statusnya. Lempar tangan demi kejelasan status hukum hanya melahirkan pukul-pukul meja dan aksi demonstrasi mempertahankan pembenaran. Adu kekuatan antara yang pro stutus dengan yang anti status tumpah ruah dijalanan merusak pandangan.

Menanam sejengkal kebaikan sama dengan mengharapkan seribu harapan. Kebaikan dan kebenaran adalah sebuah investasi dan itu masih kurang ditemukan pada para stake holder di wilayah Pemerintahan Kota Bima. Padahal terwujudnya clean governance dan kehidupan yang berkeadilan merupakan cita-cita luhur untuk membuat manusia bahagia. Bukan saja dalam line interaksi sosial, pada line antara hamba dan sang Pencipta pun sangat diperlukan.

Penggalangan kekuatan yang turun ke jalanan demi sebuah kebenaran secara politis sudah tidak layak lagi dilakukan. Eksekutif dan legislatif sudah saatnya mengedepankan rasionalitas berpolitik yang mencerdaskan, karena Rp 16,5 M harus diselamatkan. Jika sekiranya dasar keterangan hasil audit BPK yang menyatakan bahwa Rp 16,5 M itu harus dicarikan statusnya, maka unsur penyidik dari pihak Kepolisian maupun Kejaksaan dan Pengadilan tidak boleh tidak mesti dilibatkan. Kelompok yang dituding telah berbuat curang harus rela menerima dan membuka diri. Karena yang namanya bangkai sedalam apapun ditanam baunya akan tercium pula.

Pemberantasan korupsi, takut dan anti mengkorup bukan hanya pada saat sejam dilakukan seremonial penandatanganan MoU saja. Dan bukan hanya dijadikan konsep politik sebagai alat kampanye karena ingin target tertentu saja. Konsep itu harus dijalankan agar tatanan menjadi indah dan damai. Bayi yang bernama Kota Bima masih belum cukup umur untuk dianiaya. Ia masih sangat membutuhkan orang tua yang mengerti merek susu yang cocok untuk diberikan. Ia bukan Negara Timor Leste yang belum jelas status orang tuanya sehingga dengan sangat mudah bisa diecer-ecer.

Konsep pembangunan yang memprioritaskan kesejahteraan rakyat sudah saatnya di rilis ulang, jika tidak ingin dituding sebagai manusia yang hanya sejam jadi anti korupsi.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima. Email:dylla18lalat@yahoo.com





MENJALA LANGIT, MENDULANG BADAI


(Sebuah Catatan atas Alih Kelola SBW, Meretas Kembali Jalur Kamunikasi)

oleh: Dylla Lalat

Sebuah palu ditabuh. Satu keputusan akhirnya ditetapkan, menggema dimana-mana, lewat berita koran maupun dari mulut ke mulut. Keputusan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima, yakni hak pengelolaan Sarang Burung Walet (SBW) yang berada di Kecamatan Sape. Pengelola yang memenangkan tender dua tahun lalu dengan tertatih harus mengelola aset yang menjadi komoditas unggulan dan andalan daerah ini dan dengan tertatih pula harus jujur pada pemerintah bahwa dirinya tidak mampu lagi melanjutkan untuk mengelola. Sebuah alasan rasional yang jauh dari rekayasa bagi seorang pengusaha yakni dalam perjalanannya memetik hasil selalu menuai badai: merugi dan tidak kondusif dalam internal perusahaan.
Saat ini, sebuah pengakuan tertulis dilayangkan. Rasa kaget dan panik pada diri masing-masing panitia tender bukan kepalang. Sesuatu yang tidak pernah dibanyangkan sejak dua tahun lalu. Hal itu karena, selain harus menjaga kredibilitas, pihak panitia yang di dalamnya menyatu para pejabat dan orang-orang yang selama ini memahami dan tahu benar seluk beluk hukum-hukum dan prosedur tender, harus mengamankan sebuah kebijakan orang-orang tertentu. Dalam arti bahwa, para pemangku tersebut akan mengalami phobia yang berlebihan manakala berbuat yang dianggap melecehkan sebuah titah, tidak amanah.

Terlepas benar atau salah, pada saat itu sebuah dinamika direkam dan diabadikan oleh sejumlah koran. Mereka mengomentari setiap inci moment yang dianggap memiliki nilai wah bagi sebuah pemberitaan. Mengomentari intrik-intrik pemenang, sedangkan pada yang kalah dianggap tidak mahir memainkan link-link dan tekhnik-tekhnik pemenangan. Bahkan ada yang mengutip sebuah pernyataan bernada dendam dari orang-orang penting di daerah ini dalam sebuah head line mereka. Namun demikian, semua itu tidak perlu disikapi dengan sangat berlebihan mengingat sebuah historical moment tentu saja tidak dapat dianggap sebagai satu-satunya kebenaran yang mewakili realitas masa lalu. Karena kebenaran absolut dari sebuah realitas hanya ada pada peristiwa yang tidak akan pernah berulang.

Hari ini, ditetas oleh hari kemarin dan hari yang akan datang bergatung pada kemudi hari ini. Sebuah siklus falsafah peradaban yang pernah manjur sejak jaman Yunani Kuno, kendati banyak diantara kita yang tidak sreg dengan ungkapan itu. Kita tahu bahwa orang-orang Yunani Kuno walaupun hidup pada jaman yang kita anggap Kuno tidak pernah menganggap kuno petuah leluhur mereka. Mereka sangat tahu diri dan memahami sebuah falsafah yang pernah mengharu biru. Kepintaran mereka sulit ditandingi bahkan dunia mencatat banyak filsuf lahir dari sana.

Sebuah surat pengunduran diri; bukti ketidak mampuan untuk mengelola dari Dir CV. Karya Tunggal resmi diterima panitia dan tentu hak pengelolaan SBW pun akan beralih ke tangan pemenang kedua yakni CV. Khalifah Bugis. Rupanya pihak pemerintah memilih jalan untuk tidak melakukan tender ulang. Sebuah langkah yang menurut beberapa kalangan dianggap sangat tepat berdasarkan berbagai sudut pandang. Plus-minus, untung-rugi bahkan pada sudut pandang historis; hak dasar sebagai ahli waris.

Selain pelimpahan hak mengelola, yang tidak kalah menariknya adalah kewajiban menyerahkan harga penawaran yang sama yakni Rp 1,7 M. Padahal dulu, kalahnya perusahaan yang kini sedang mengelola tesebut, karena nilai penawarannya lebih rendah. Kalau kita benar-benar ingin menegakkan aturan kenapa tidak mesti memberlakukan nilai penawaran yang sama pula yakni sebesar nilai penawaran yang pernah diajukan dan dulunya dikalahkan? ‘’Dengan tidak menaruh rasa curiga, pernahkah pemerintah berpikir jauh kedepan bahwa apa yang pernah dilakukan perusahaan sebelumnya juga akan terulang kembali? Barangkali ini hanya kekhawatiran yang tidak berdasar saja. Insya Allah,’’harap salah seorang rekan wartawan di Pemkab Bima, beberapa waktu lalu. Namun, dengan berbagai pertimbangan dan motivasi ingin menyelamatkan aset, nilai berapa pun tidak menjadi soal maka CV. Khalifah Bugis (pemenang kedua) dengan semangat sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai; Bismillah jalur komunikais kembali diretas.

MERETAS JALUR KOMUNIKASI

Kebiasaan bermain-main dengan sebuah aturan memang masih belum bisa dihilangkan. Pada sektor swasta maupun pemerintah. Padahal sebuah aturan dibuat demi tertata dan terjaganya suatu proses sistem yang melingkupi kehidupan berbangsa dan bernegara agar tidak dituding sebagai kelompok yang tidak melek dengan tata aturan. Betapa akan dicap sebagai pewaris manajemen acak-acakan kalau saja aturan yang kita bangun sering dipelintir dan dibelokkan, tidak mampu dilestarikan dalam hati sebagai kemudi diri apalagi dalam sebuah organisasi yang tugasnya memang melayani kepentingan publik. Yang lebih penting dan urgen dilakukan adalah bagaimana konsistensi menegakkan aturan dan tata tertib yang telah ditetapkan. Kalau belum bisa, sekarang saatnya untuk serius berlatih. Bukankah kita sama-sama pernah merasakan ‘tidak enaknya’ kalau saja diperlakukan tidak baik berdasarkan aturan-aturan, membelokkan berdasarkan SMS atas nama sebuah policy.

Apa yang bisa dipetik atas kasus tersebut? Adakah jaminan bahwa pada proses selanjutnya tidak akan terjadi hal yang memalukan seperti sekarang ini? Dari catatan penulis baru kali ini seorang pengusaha SBW menyerah di tengah jalan. Terlepas dari apa yang memotivasinya, yang jelas sikap tersebut sangat memukul kredibel panitia (pemerintah) yang dulunya dinilai terlalu agresif mengejar nilai penawaran ketimbang faktor-faktor yang lain (baca: keselamatan aset). Apa jadinya kalau saja disetiap moment pelaksanaan tender terjadi ‘lempar handuk’ seperti itu?

Alih kelola SBW dianggap sebagai titik awal dan pembuka komunikasi antara pemerintah dan pengelola SBW yang selama ini mandek. Harapan baru pun muncul terutama pada konsistensi pembayaran nilai kontrak yang telah terlanjur dijadikan target Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang ditetapkan Pemerintah Kabupaten. ‘’............. Mau atau tidak mau, harus mau. Karena saatnya dalam SBW ini nurani keluargalah yang berbicara,’’tegas Dir. CV Khalifah Bugis Drs. H Nadjib HM Ali, (Garda Asakota, edisi: 316 Senin, 18-19 Februari 2008).

Sebuah komitmen yang harus dihargai semua pihak. Selain itu tersirat sebuah isyarat bahwa selama lebih kurang dua tahun antara pemerintah dan pengusaha terjadi pergolakan yang luar biasa. Arus komunikasi tersumbat, tidak jalan sebagaimana mestinya. Kendati di daerah ini tidak hanya satu pengusaha, namun sebagai pemerintah yang memiliki jalur penanganan secara comprehention harus membina kemitraan, hubungan baik dengan pengusaha apa pun. Karena paradigma pembangunan berpola kemitraan, pemerintah tidak bisa berjalan sendiri.

Sebuah harapan bisa saja menjelajah dan menerawang kemana pun ia kehendaki. Dan untuk menghindari terulangnya hal yang sama maka yang perlu dicermati pertama, pemerintah daerah agar lebih berhati-hati, cermat dan cerdas dalam memenangkan perusahaan yang akan diberi hak mengelola. Sekiranya masih diberlakukan aturan ‘hak sebagai ahli waris penemu gua’ mari kita perhatikan bersama. Bukan berarti mengkultuskan hal-hal yang irasional. Mari mengasumsikan hal seperti itu sebagai wasiat yang memang harus dilaksanakan. Dan sebagai sesuatu yang telah diwasiatkan, kalau saja tidak dilaksanakan maka bukan rahasia lagi suatu saat akan ada ganjarannya. Kedua, tidak mengedepankan untung lebih besar dan melimpah yang memaksa pengusaha untuk memanen belum waktunya. Hal itu akan menghancurkan keselamatan habitat yang ujung-ujungnya punah. Bukankah mengharap untung lebih besar tidak dianjurkan oleh agama yang kita anut. Ketiga, mari kita berpikir untuk hari esok dengan mengedepankan saling menghargai dan mempercayai. Andai saja engkau berpikir bahwa aku saudaramu munking langkah yang menjengkelkan itu tidak engkau turuti. Kalau saja engkau mau mendengar dan merasakan isi hatiku maka aku yakin engkau tidak akan menelan lundahmu kembali. Andai saja engkau jujur pada dirimu, aku yakin engkau tidak akan memiliki musuh yang engkau sendiri akan melawannya. Dulu aku berpikir bahwa engkau tidak bermain-main dengan keputusanmu untuk memenangkan yang bukan termasuk dalam persyaratan-persyaratan tambahan, ternyata engkau serius menerobos jaring itu. Dulu aku berpikir kita akan sama-sama menjaga titah leluhur, karena apa yang dititahkan leluhur dan kalau pun dibelokkan maka murka akan datang. Aku mengungkit leluhur bukan berarti telah melupakan Allah Azza Wajalla, namun karena leluhur juga mengkaji dan memaknai huruf demi huruf dalam al-quran dan al-hadis maka aku harus mengingat-ngingatnya pula. Bahkan dulu dengan rasa putus asa aku pernah menulis dalam catatan harianku layaknya seorang bijak adalah angan-angan luhur telah gagal untuk membuat manusia bahagia.

Sebuah palu ditabuh. Komunikasi menggema. Semuanya akan berpaling pada diri masing-masing. Jangan memaksakan kehendak yang membuat aku harus menyatakan memang kamu begitu; selalu menjala langit, mendulang badai.

Dylla Lalat: Ketua Komunitas Seni dan Sastra Indonesia (Kosentrasi) Bima

Email: dylla18lalat@yahoo.com

Tidak ada komentar: